Text
Politik Ruang Publik Sekolah Negosiasi dan Resistensi di Sekolah Menengah Umum Negeri di Yogyakarta
Tahun 2000-an menyaksikan fenomena meluasnya
gerakan Islamis ke sekolah-sekolah menengah umum. Jika
sebelumnya sasarannya adalah mahasiswa perguruan tinggi,
kini bergeser ke kalangan siswa. Lebih khusus lagi, siswa
sekolah-sekolah terkenal dan favorit. Ujung tombak dari
gerakan ini adalah organisasi siswa yang bernama Rohis
(Kerohanian Islam). Rohis secara politik diketahui memiliki
jaringan dengan gerakan-gerakan Islamis di luar sekolah.
Melalui program mentoring agama Islam di sekolah-sekolah
tersebut, para siswa didorong untuk menciptakan kultur
sekolah yang “Islami” di mana “hijab” dipraktekkan,
pemakaian jilbab panjang bagi siswa Muslim dan menjaga
pergaulan antara siswa laki-laki-perempuan. Implikasinya,
sekolah sebagai ruang publik yang bebas untuk semua
golongan siswa, kini hendak dan sebagian telah ditafsirkan
dan dibentuk berdasarkan paham dan kepentingan satu
golongan saja. Para siswa Muslim yang berpandangan berbeda
dan tidak ingin menyatakan ekspresi keagamaan mereka
secara formal amat mungkin tidak nyaman dengan
kecenderungan ini. Demikian pula dengan para siswa non-
Muslim.
Penelitian ini dilakukan di 3 SMUN favorit di Yogyakarta
untuk menelusuri praktik Islamisasi tersebut dan dampaknya
terhadap ruang publik siswa di sekolah, serta mengapa dan
bagaimana dominasi ruang publik oleh satu golongan ini
tersebut ditandingi, dilawan, dipermainkan, dinegosiasi,
dipertanyakan, dan akhirnya, dengan caranya sendiri, ditolak
oleh sejumlah siswa. Praktik-praktik resistensi merupakan
satu contoh pembelajaran pluralisme, yaitu dalam
membangun ruang publik yang lebih terbuka, sehat, dan
demokratis.
Kata Kunci: Islamisasi, anak muda, kontestasi, negosiasi,
resistensi.
Tidak tersedia versi lain